Ads

Ads
Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 19 September 2015

Cinta Arnold: Di Serambi Depan

Unknown     01.08    

Foto ilustrasi. Ist.
Arnold berdiri di serambi depan. Matahari yang terbenam meninggalkan berkas keemasan. Angin telah dirasuki dingin. Cakrawala di bibir pantai Nabire membentang bak lukisan.

Langit indah dihiasi serpihan-serpihan awan yang berhamburan tak beraturan, memantulkan cahaya kuning kemerahan, mereduksi warna laut teluk Cenderawasih. Bulan tersenyum bak gadis tersipu malu usai dipuja sang kekasih. Kemerahan. Bintang mulai bertaburan, berkedip genit, mengiri bulan yang bersahaja. Matanya tak lepas dari kawanan bintang yang terhampar seluas cakrawala itu. Tanpa henti, dalam hati, untaian-untaian doa sedari tadi bergelombang menuju Surga tempat Sang Tuhan bersemayam. Permohonannya sederhana, Tuhan, semoga ada saja bintang jatuh malam ini.
Arnold terus menerawang memeriksa angkasa, kalau-kalau ada bintang yang jatuh, sambil mengingat ujud doa yang hendak dipanjatkan. Doanya singkat, semoga panah cintanya tepat mengena di hati Esty, wanita yang selama ini menjadi idamannya. Bila ada bintang jatuh lagi, ia punya permintaan kedua: semoga wajahnya menjadi ganteng, lebih ganteng dari Mateus, sahabatnya yang dikerumuni banyak wanita bak gula oleh semut.

Siapa Esty?

Yang pasti, Esty itu manusia. Perempuan. Esty satu sekolah dengan Arnold. SMA YPPK Adhi Luhur Nabire. Sama-sama kelas sepuluh, hanya beda ruang. Walau demikian, Esty tidak pernah tahu bahwa di dunia ini, ada seorang bernama Arnold dan sedang cinta setengah mati padanya. Kenal pun tidak!

Cinta Arnold persis seperti kata anonim, cinta sejati ada di pandangan pertama. Kala itu, Arnold sampai tersandung batu dibuat Esty. Ketika itu Pekan Orientasi Siswa Adhi Luhur (POSAL) sedang berlangsung di sekolah. Arnold yang dimabuk cinta pun berakhir di tangan kakak Tatib, begitu sebutannya untuk mereka yang tugasnya marah melulu, membentak-bentak. Tak ada senyum barang secuil pun.

Hampir satu tahun lamanya Arnold memendam cinta. Untungnya, cinta tidak seperti makanan, jadi tidak akan membusuk walau dipendam sekian lama. Yang ada hanya dada yang kembang kempis. Memberat saat para lelaki ramai-ramai mencari perhatian Esty, mendekat, berusaha merebut perhatian. Ringan dan lega kala semua lelaki itu dipermalukan Esty dengan bengis, kasar, kekanak-kanakan. Ada senyum dalam hati kala para sahabatnya yang menurutnya lebih ganteng itu patah hati, sedih, kecewa.

Benarkah Esty cantik?
Ya, tentu saja cantik!
Secantik apa?

Esty bertubuh tinggi, tidak kurus, tidak gemuk. Berambut panjang. Cantik, tentu saja. Seperti para penari balet, atletis. Matanya selalu berbinar, seperti bintang kejora di pagi hari. Yang membedakan Esty dari barisan wanita lain: ia wanita campuran. Ayah dari Biak, seorang tentara. Ibu dari Magelang, Jawa. Esty selalu terlihat anggun di matanya. Bersahaja. Langkah kakinya berirama, persis seiring irama detak nafasnya.

Yang selalu bikin Arnold terbawa pikiran adalah tatapannya. Ya, tatapan Esty. Memikat. Bergelora. Tepat seperti ombak teluk memukul karang: begitu garang, begitu menantang. Arnold makin jatuh cinta.

Apakah Esty telah punya pacar?
Esty pernah punya pacar?
Esty ingin punya pacar?
Apakah dirinya bisa menjadi pacar Esty?
Di mana rumahnya?

Akh! Banyak pertanyaannya dalam hati. Sambil mengumpat pada diri sendiri, Arnold segera tersadar dari lamunannya. Segera ia menutup pintu, jendela, melebarkan gorden, lalu menyemprot cairan baygon untuk membunuh nyamuk yang telah masuk selama ia menanti bintang jatuh.

Siapa Arnold?

Arnold. Lelaki asli Siriwo, perbatasan tiga kabupaten: Paniai, Dogiyai dan Nabire. Datang merantau ke pusat kota Nabire usai tamat SMP di Uwapa, kecamatan Topo. Arnold tinggal di asrama. Saat libur pendek seperti saat ini, Arnold pergi ke kakak perempuannya yang menikah dan menetap di Nabire. Letaknya di bibir Teluk Cenderawasih, dekat pantai Nabire.

Apakah Arnold ganteng?

Tubuhnya kurus tapi berotot. Tinggi, seperti tiang listrik. Ia tegap. Berjenggot. Langkah kakinya panjang. Telapak tangan terlihat kasar. Lebih banyak diam dalam pembicaraan, lebih banyak mendengar. Sebenarnya ia pandai membuat orang tertawa, tetapi dalam bahasa daerah. Ia ahlinya bila di Uwapa, Topo. Di sekolah, ia satu-satunya dari Siriwo.

Temannya cuma satu orang, Mateus. Siapa Mateus? Dia anak Paniai. Mateus dari Makataka, perbatasan antara Paniai dan Intan Jaya. Makataka itu seperti Paniai, Intan Jaya, Wamena, Dogiyai, Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak Jaya, Tolikara, Lany Jaya, Nduga, Deiyai, semua itu nama kabupaten di daerah pegunungan tengah Papua. Letaknya terisolir. Hanya dijangkau dengan pesawat. Beberapa punya jalan darat yang baru dibangun. Tapi selalu tak terawat.

Arnold ke dapur. Kakaknya sedang memasak. Suami kakaknya sedang memperbaiki jala. Arnold kembali lagi ke teras depan. Ia memandang lagi ke angkasa, memandang taburan bintang dengan tatapan penuh harap: berharap bintang jatuh, sambil mengingat-ingat khasiat doa saat bintang jatuh diceritakan Mateus, sahabatnya itu.

Kini, dalam hati, mulailah untaian doa terucap. Ya Tuhan, buatlah salah satu dari jutaan bintang ini jatuh. Bintang yang sudah renta, sudah jompo, biarlah kau jatuhkan mereka, Tuhan! Satu jam, dua jam, tak ada bintang yang jatuh.

Mata sakit. Leher juga. Kepenatan menguasai tiba-tiba. Ini semua karena si Mateus. Ia yang bercerita kalau melihat bintang jatuh dan mengucapkan permohonan, niscaya akan terkabul. Sudah sedari matahari terbenam ia menunggu bintang jatuh. Kini sudah jam delapan lewat tiga puluh menit.

Arnold menghela nafas berat. Kecewa itu pasti. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun, tak ada bintang yang jatuh. Ia mulai berpikir, ia harus segera ke sekolah dan mencari di internet, barangkali ada kalender yang menunjukan bulan musim bintang jatuh. Soalnya ia begitu percaya sama si Mateus.

Usai makan, Arnold masih tetap di teras depan. Kakak perempuannya menggeleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya beberapa malam terakhir. Sementara Arnold kali ini sampai mengatupkan kelopak mata saat berdoa di beranda sambil menengadah ke langit. Sangat kyusuk, berdoa. Isi doanya sama, hanya ada tambahan kalimat. Ya Tuhan, ini malam terakhir saya di rumah kakak. Semoga ada bintang jatuh malam ini, sebelum saya kembali ke asrama. Begitu saja doanya. Begitu terus. Berulang-ulang. Ia bahkan tak peduli pada firasatnya kalau-kalau Tuhan bosan mendengar ujud doa yang serupa terus menerus.

Waktu terus berlalu. Ia telah menguap beberapa kali. Arnold dengan langkah gontai masuk ke kamar yang disediakan untuknya. Tubuhnya ia rebahkan di atas tilam, tangannya mengambil bantal lalu dipeluknya erat-erat. Pikirannya telah sedari tadi menerawang, jauh, menembus awan.

"Ya Tuhan, Esty Tuhan. Esty... Esty... Esty... Esty, Tuhan."

Bibirnya mengecup pelan ujung kain yang membungkus kapas dalam bantal. Ia tersenyum sendiri. Selamat malam sayangku, Estyku. Tunggulah, aku akan datang dalam mimpimu. Arnold berbisik pelan. Amat pelan, sambil melumat setiap inci wajah Esty dalam khayalannya.

Akh, Esty. Tunggu aku di sekolah! Aku akan menjadikanmu pacarku, tunanganku, lalu kita akan menikah, punya anak: semua laki-laki. Hanya satu anak perempuan. Kita akan punya... dan Arnold pun tertidur pulas dengan impian-impiannya, begitu indah. Lihatlah, senyum masih tersungging di bibir. *** (Sanimala B)

BERSAMBUNG.


Sumber: http://majalahselangkah.com/

0 komentar :

© 2011-2014 OBOR REVOLUSI. Designed by Bloggertheme9. Powered by Blogger.